Antara Lubang Buaya dan Kalibata

Sabtu pagi yang dingin (4/11/17), saya sudah bersiap pergi ke Jakarta. Semua karena rida Allah, saya mendapatkan tiket bulak-balik Bandung-Jakarta, Jakarta-Bandung, Gratis! Harapan dan doa untuk dapat mengunjungi kawasan penyiksaan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya dan mengunjungi Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, terjawab sudah.

Perjalanan pagi itu benar-benar membuat saya tidak sabar, sekaligus penuh tantangan, sebab saya akan pergi ke kota orang, bukan kota yang saya kenali sama sekali. Pukul sepuluh pagi kurang, tibalah saya di Jatiwaringin. Setelah beristirahat beberapa saat, saya memutuskan untuk naik ojek dari menuju kawasan Lubang Buaya.
Ucapan Selamat Datang di Museum/Monumen Pancasila Sakti



Memasuki kawasan kompleks penyiksaan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, saya bisa merasakan daerahnya memang seperti itu, masih ada pohon-pohon yang tumbuh berjejer. Mungkin pada tahun 1965, pohonnya tumbuh lebih banyak dan lebih rapat. Oh iya, harga tiket masuknya Rp 4000.

Pertama saya masuk ke sebuah gedung Pengkhianatan G30S/PKI. Di pintu masuk, disuguhkan gambar berukuran besar mengenai tragedi berdarah kala itu. Semua mengenai pengkhianatan PKI tersimpan rapi dalam museum itu. Semua digambarkan dengan jelas, baik dalam bentuk gambar dua dimensi atau diorama yang berhasil membuat pengunjung merasakan getirnya kondisi saat itu.

Siapakah yang paling saya tunggu jika bukan Pahlawan Revolusi? Memasuki kawasan foto-foto dan diorama-diorama penangkapan ketujuh Pahlawan Revolusi, saya merasa tujuan saya datang ke Jakarta akan segera terlunasi. Tidak perlulah saya ceritakan bagaimana rasanya.

Saya belum memasuki kawasan bekas darah saat itu, tetapi saya pergi dahulu ke area Monumen Pancasila Sakti. Di kawasan itu, masihlah terjaga sumur maut yang menjadi saksi bagaimana ketujuh tubuh Pahlawan Revolusi itu meringkuk tak berdaya selama berhari-hari. Baik, selain sumur ada juga beberapa rumah warga yang sama-sama tidak bersalah namun harus menjadi saksi tragedi malam itu. Rumah-rumah warga itu pun terawat sebagaimana aslinya dulu.

Koleksi Museum Pancasila Sakti

Hujan gerimis pun turun, saya berjalan cepat meninggalkan monumen pancasila sakti dan berlindung ke bagian gedung yang menyimpan pakaian terakhir yang dikenakan Pahlawan Revolusi. Semua rasa di tempat itu tidak perlu saya ceritakan. Semua kekejaman ini, tidak perlulah saya koyak lagi.

Gerimis turun tak terlalu deras, bahkan tak lama pula sudah reda. Saya segera bergegas menuju Mushola di depan area. Setelah sembahyang, gerimis mulai turun, tidak deras, hanya serintik serintik. Pemberhentian selanjutnya adalah Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Waktu semakin menipis, pukul 16.00 saya sudah harus pulang ke Bandung, sedangkan pukul 14.30 saya masih di kawasan Lubang Buaya dengan segenap kondisi lalu lintasnya hari itu. Dengan menumpang ojek, saya berdoa semoga saya bisa sampai di Kalibata tepat waktu.

Syukurlah, masih ada waktu untuk saya tiba di Kalibata. Saat pertama kali tiba di sana, mata saya langsung terarahkan ke samping kiri. Kali itu adalah kali pertama saya, tapi saya bisa merasakan bahwa di sebelah kiri ada pulalah yang hendak saya tuju, makam Pahlawan Revolusi (yang dimakamkan secara Nasrani), salahsatunya makam Kapten Pierre Tendean.

Maka berziarahlah saya hari itu, saya kunjungi beberapa makam, terutama makam Pahlawan Revolusi. Langit kala itu, cerah kelabu. Tidak ada terik pada Jakarta yang syahdu.

Waktu semakin kencang melaju. Saya harus segera pulang ke Bandung. Saya tinggalkan rindu di Kalibata sore itu, berharap nanti akan kembali bertamu.

Tugu Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata

Itulah perjalanan saya di hari Sabtu. Pada Tuhan saya sampaikan syukur. Semoga ziarah ini akan menjadi doa untuk yang telah lalu. Semoga segala sakit dan perih 52 tahun yang lalu, akan dilunasi Tuhan dengan pahala yang tak putus. Aamiin.
16/11/17

Komentar