Rumah Rantau Pierre Tendean di Bandung


Selamat sore.
Apa kabar kalian semua? Hari tadi saya sangat bersemangat dan bahagia. Oleh karena itu, sekarang saya akan membagikan kebahagiaan dan semangat itu pada pembaca blog ini semuanya.

Masih tentang Kapten kita, Pierre Tendean, saya berhasil menggerakkan kaki dan imaji saya ke tahun 1958. Pagi tadi saya pergi ke sebuah rumah yang merupakan rumah tempat tinggal (pertama?) Pierre Tendean di Bandung. Rumah yang pernah menjadi saksi bagaimana Pierre remaja merantau ke Bandung demi mengikuti pendidikan ATEKAD.

Mengapa saya yakin rumah itu adalah sebuah rumah yang pernah menjadi naungan seorang remaja blasteran penuh semangat yang kemudian diangkat (anumerta) menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, Pierre Tendean? Sebab alamat rumah tersebut pernah Pierre Tendean torehkan di atas kartu pos ketika ia mengabari keluarganya di Semarang. Mungkin di rumah itu pulalah Pierre menulis kartu pos yang warnanya sudah menguning tersebut.

“Sampai di Bandung dengan Selamat,” itulah bunyi kartu pos bertanggal 20 Juli 1958 tersebut. Lalu di bawah tulisan tersebut, Pierre Tendean membubuhkan alamat dan nama depannya.

Kartu pos Pierre Tendean untuk keluarganya



Baik, perjalanan dimulai dari kawasan Pano— (bisa tebak?) sekitar pukul tujuh pagi lebih beberapa puluh menit. Kemudian saya menaiki angkot yang melintasi kawasan yang saya kira dekat dengan lokasi rumah tersebut. Rupa-rupanya, saya turun angkot  lebih jauh dari yang seharusnya. Akhirnya saya harus memutar balik arah perjalanan saya. Untung saja hari masih pagi.

Setelah mencari-cari lokasi, tibalah saya di sebuah jalan yang plang jalannya berhasil membuat hati saya berdebar karena rindu. Saya berjalan dan mulai melihat nomor rumah di sepanjang jalan. Nomornya urut dari yang terkecil. Lokasi jalan tersebut masih asri, berbeda dari jalan besar yang ada di dekatnya. Mungkin jika imaji saya benar, yang berbeda dari kondisi jalan tersebut pada 1958 dan 2017 adalah jumlah dan jenis kendaraan yang terparkir di sepanjang jalan tersebut. Sisanya, saya masih dapat merasakan derap langkah Pierre Tendean di sepinya jalan itu.

Ketika nomornya semakin membesar dan mendekati angka yang tertulis di kartu pos, saya semakin rindu dan tidak dapat berkata-kata. Saya takut yang akan saya temui hanyalah lapang atau rumah yang sudah rata dengan tanah.

Sekitar pukul 08.20, tibalah saya di depan rumah yang lagi-lagi membuat saya bingung. Antara bahagia dan haru dan kikuk. Semuanya menjadi satu.


Rumah berpagar besi berwarna hitam


Dari pantauan saya, rumah tersebut sepi. Lampu di luar rumahnya masih menyala. Pagarnya tertutup dan sepertinya tidak ada orang. Walaupun begitu, halamannya bersih. 

Di rumah sebelah ada seseorang yang sedang memotong rumput pagar. Saya kemudian mencari tempat duduk dan memandangi rumah itu likat.

Dapat saya rasakan rumah itu masih bergaya rumah-rumah lama. Berbeda dari rumah di sebelah kanannya (yang nomor rumahnya lebih kecil) yang sudah bertingkat dua dan lebih modern. 

Ketika saya duduk memandangi rumah tersebut, saya merasakan udara masih sejuk. Di dekat rumah itu terdapat sebuah lapang. Anak-anak sekolah sedang berolahraga di sana. Mungkin dulu pun Pierre Tendean pernah melihat hal yang sama ketika keluar rumahnya. Saya hanya membayangkannya saja.
 
Kira-kira seperti inilah kondisi Pierre muda yang merantau ke Bandung


Sesekali ada motor dan anak-anak berseragam SMP/SMA melintas di hadapan saya. Ada, tetapi tidak banyak. Dalam kondisi seperti itu, saya merasa bahwa kondisi jalan itu tadi benar-benar menyambut dan menyuguhkan ‘sepi’ yang serupa di tahun 1958.

Saya kembali memfokuskan pandangan dan hati pada rumah itu. Di depan rumah di luar pagar, terdapat sebuah pohon besar. Mungkin sudah sejak zaman Pierre Tendean tinggal di rumah itu, pohon besar tersebut sudah ada. Tapi yang pasti, salah satu dahan pohonnya terlihat baru saja dipotong. Menurut saya, ukuran dahan pohonnya itu lebih besar dari kepala manusia dewasa. Masih di luar pagar rumah tersebut, tumbuh dengan indah bunga ashar berwarna fusya dan tanaman euforbia yang mulai tertutupi rumput liar.

Rumah ini masih terasa bergaya lama


Tepat pukul 08.40, melintaslah tukang pos dengan sepeda motornya yang berwarna oranye ke depan rumah tersebut. Keadaannya mengingatkan saya pada kartu pos yang ditulis Pierre. Mungkin dulu di sekitar sini ada bis surat yang biasa menampung surat-surat dari Pierre Tendean untuk keluarganya. Mungkin, saya hanya terbawa imaji sendiri.

 Foto diambil dari depan pagar rumah


Pada 08.45 saya memutuskan untuk bangkit dari tempat duduk. Saya mencoba melihat kembali rumah tersebut untuk yang terakhir kalinya sebelum kembali ke kampus. Saya benar-benar tidak ingin meninggalkan tempat itu secepat ini, bahkan pada 08.51 saya masih berjalan lambat di jalan yang pernah Pierre Tendean jajaki dengan sepatu PDH-nya itu.

Hm, begitulah pengalaman saya hari ini (9 Oktober 2017). Benar-benar pengalaman yang sangat berharga. Walaupun saya sudah mencoba menulis blog ini dengan sempurna, saya rasa masih ada rasa di dalam hati dan pikiran yang tidak dapat saya tuliskan. Semoga apapun yang terjadi, semua akan membentuk pribadi yang lebih baik. Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Kapten Tendean.

Mungkin seperti inilah jika rumah tersebut sempat difoto pada tahun 1958

NB: Selamat Hari Pos Sedunia!

Komentar